Seperti
telah disebutkan pada kesimpulan sub pokok pertama, masyarakat pada umumnya
beranggapan bahwa kesuksesan dalam pendidikan adalah pra-syarat untuk mencapai
kesuksesan dalam masyarakat. Berkaitan dengan pandangan ini kaum egalitarian
menilai bahwa sistem pendidikan dewasa ini tidak adil karena hanya
menguntungkan anak dari ‘masyarakat/keluarga kelas menengah’ (middle-class) saja.
Sistem pendidikan seperti ini akan menghalangi anak dari kaum buruh (working-class)untuk
mencapai kesetaraan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Untuk mengatasi masalah
ini mereka mengusulkan supaya pemerintah mensubsidi keluarga kaum buruh agar
anak-anaknya dapat bersekolah. Asumsi mereka adalah bahwa anak-anak dari
keluarga kaum buruh tidak mampu mengikuti pelajaran karena konsentrasi mereka
tersita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka wajarlah bila pemerintah
memberi subsidi kepada mereka.
David Cooper
menolak pandangan ini berdasarkan argumentasi berikut:
1)
Ia mengutip hasil penelitian Christopher Jencks tentang siswa-siswi Amerika
Serikat pada tahun 1960. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
pendidikan tidak memiliki pengaruh besar dalam menentukan kesetaraan dalam
status sosial dan ekonomi siswa. Fakta lapangan ini membuktikan bahwa tuntutan
kesetaraan dalam pendidikan tidak dengan sendirinya melahirkan kesetaraan
status sosial ekonomi dalam masyarakat.[1]
2)
Seandainya faktor ekonomi keluarga yang menyebabkan perbedaan pendidikan yang
diperoleh siswa, maka cara untuk mencapai kesetaraan dalam pendidikan adalah
dengan membangun sekolah yang sesuai bagi semua siswa tanpa membedakan latar
belakang ekonominya. Lagi pula, berhasil tidaknya siswa dalam pendidikan lebih
banyak ditentukan oleh faktor internal pendidikan seperti mutu pengajaran,
kurikulum dan kemampuan siswa. [2]
3)
Ia juga menolak doktrin kesetaraan ‘distribusi kebutuhan manusia’ (distribution
of human goods). Doktrin ini berpendapat bahwa perbedaan dalam dunia
pendidikan dapat diatasi bila kebutuhan manusia dapat dipenuhi sehingga setiap
orang dapat berkonsentrasi penuh untuk melanjutkan pendidikan. Pandangan ini
mengandaikan bahwa orang yang tidak sibuk dengan kebutuhan sehari-hari
dengan sendirinya akan mendapat kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan.
Padahal dalam kenyataannya banyak anak yang berasal dari keluarga yang mampu
tidak sanggup menyelesaikan pendidikannya.[3]
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah: kesetaraan dalam
pendidikan tidak merupakan jaminan untuk menciptakan kesetaraan status
sosial-ekonomi dalam masyarakat. Demikian juga sebaliknya kesetaraan status
sosial-ekonomi tidak menjamin kesetaraan dalam pendidikan. Jika kaum
egalitarian tetap ingin mempertahankan pandangan di atas maka mereka harus
mengajukan tuntutan yang lebih tegas yakni kebijakan ‘pemerataan’ (levelling) di
segala bidang. Apakah kebijakan pemerataan dapat dijuwudkan? Pertanyaan ini
mengantar kita pada pembahasan berikut.
SUMBER :
https://pendidikanbangsa.wordpress.com/bab-1-egalitarianisme/kesetaraan-dalam-pendidikan-pendidikan-untuk-kesetaraan/
Komentar
Posting Komentar